Tradisi Pandai Besi di Luwu Timur

Tradisi Pandai Besi di Luwu Timur

Asal-usul: Matano, Pusat Kerajinan Besi Tradisional

Luwu Timur, khususnya wilayah di sekitar Danau Matano, dikenal sebagai salah satu pusat awal pengolahan besi tradisional di Nusantara. Sejak abad ke-5 Masehi, masyarakat Matano telah mengembangkan teknik peleburan bijih besi secara lokal, menjadikannya pusat kebudayaan logam yang penting di Sulawesi.

Tradisi ini berkembang karena:

  • Adanya sumber bijih besi alami dari batuan ultrabasa (serpentinit dan laterit nikel).

  • Ketersediaan batu bara lokal atau bahan bakar alami (arang kayu keras) untuk proses peleburan.

  • Kecakapan teknis turun-temurun dari generasi ke generasi.


2. Proses Tradisional Pandai Besi Matano

Teknologi yang digunakan tergolong sederhana namun efektif. Beberapa tahapnya:

  1. Ekstraksi bahan mentah:
    Batuan mengandung besi dikumpulkan dari sekitar tebing dan pegunungan dekat danau.

  2. Peleburan tradisional (smelting):
    Dilakukan dalam tungku tanah liat yang dilengkapi dengan alat tiup udara (bellow), menggunakan arang kayu sebagai bahan bakar.

  3. Penempaan (forging):
    Logam cair yang telah membeku dibentuk dan ditempa menjadi berbagai alat seperti:

    • Badik (senjata khas Sulawesi Selatan)

    • Pisau, parang, mata bajak

    • Senjata berburu dan alat berbasis besi lainnya


3. Nilai Budaya dan Sosial Tradisi Ini

  • Pandai besi bukan sekadar profesi, tapi bagian dari identitas budaya Matano.

  • Pandai besi memiliki status sosial tinggi dalam struktur adat dan sering kali mewarisi ilmu secara eksklusif dalam satu keluarga atau komunitas.

  • Produk-produk logam mereka digunakan dalam:

    • Upacara adat dan ritus pernikahan

    • Peralatan pertanian dan berburu

    • Simbol status dan kekuasaan lokal


4. Temuan Arkeologi & Bukti Sejarah

Penelitian arkeologi menemukan:

  • Situs peleburan besi kuno di pinggiran Danau Matano.

  • Pecahan relik dan sisa tungku besi berusia ratusan tahun.

  • Artefak besi tua seperti badik Matano dengan pola ukiran khas.

Hal ini memperkuat bukti bahwa Luwu Timur, terutama Matano dan Nuha, adalah bagian dari jaringan teknologi logam tertua di kawasan timur Indonesia.


5. Pelestarian dan Tantangan

Kini, jumlah pandai besi tradisional di Matano mulai berkurang karena:

  • Minimnya regenerasi (anak muda kurang tertarik).

  • Dominasi produksi logam modern dan pabrikasi massal.

  • Akses bahan baku dan perubahan gaya hidup.

Namun demikian, beberapa inisiatif pelestarian telah dilakukan:

  • Workshop budaya dan pelatihan pandai besi di sekolah-sekolah lokal.

  • Festival Budaya Danau Matano yang menampilkan proses pandai besi tradisional.

  • Rencana integrasi dalam Geopark Matano sebagai bagian dari warisan budaya tak benda.

Tradisi pandai besi di Luwu Timur adalah salah satu warisan teknologi tertua dan paling khas di Sulawesi. Lebih dari sekadar keahlian, ia adalah bukti bahwa masyarakat lokal telah mampu mengolah sumber daya alam secara mandiri dan berkelanjutan, jauh sebelum datangnya teknologi modern.

Melestarikan tradisi ini berarti merawat warisan, memperkuat identitas lokal, dan membuka peluang ekonomi kreatif berbasis budaya.

Suku Weula

Suku Weula

Suku Weula (To Weula), adalah salah satu suku yang pertama menghuni daerah Nuha di Luwu Timur provinsi Sulawesi Selatan.

Wilayah Distrik Nuha dulu di bawah pemerintahan Kerajaan Matano yang merupakan bagian dari Kedatuan Luwu (Kerajaan Luwu), terletak di atas dataran tinggi 362 m2 dari permukaan laut, di dalamnya terdapat 3 danau, yaitu danau Matano, danau Mahalona dan danau Towuti. Kondisi alamnya berbukit-bukit dan berhutan rimba, juga mempunyai padang rumput dan rawa-rawa di sekitar pinggir danau Mahalona dan Towuti.

Suku To Weula adalah suku yang banyak menguasai wilayah distrik Nuha, bagian timur terutama daerah yang memiliki peleburan batu besi seperti La Mangka (Otuno) di sana kampung Helai. Juga orang yang berasal dari daerah Kendari, Asera, Sanggona datang melebur batu besi di daerah Otuno bersama orang Weula dan juga orang-orang dari Mori datang juga di daerah iOtuno, mereka saling berjual beli besi (barter) barang dengan bongkahan besi yang sudah dilebur dari batu dan siap ditempa menjadi parang, alat perang dan perlengkapan lainnya.

Menurut cerita suku Weula sempat bercampur dengan suku Routa yang juga menghuni daerah ini. Tapi karena orang Routa memiliki perangai yang keras, kasar dan suku berperang, orang-orang yang datang menangkap ikan di telaga (danau-danau) dibunuh dan ditebas dengan pedang. Hal ini diketahui oleh sang penguasa wilayah ini, yaitu Mokole Matano, sehingga orang Routa diusir dengan paksa, dan pindah ke sekitar danau Towuti.

Sepeninggal orang-orang Routa, daerah ini menjadi sunyi karena hanya dihuni oleh kelompok kecil orang Weula yang mendiami kampung Helai dekat Otuno atau dekat penambangan batu besi.

Selanjutnya kemudian datanglah suku-suku lain yang memasuki daerah ini, yaitu suku To Karonsi’e, To Kondre, To Taipa, To Tambe’e dan To Padoe. Rupanya kehadiran penduduk baru ini membuat terusik suku Weula yang juga berwatak keras dan tidak mau membagi wilayah tersebut. Akhirnya sang penguasa wilayah ini Mokole Matano membagi tanah tersebut dan menentukan batas-batasnya agar mereka tidak saling mengganggu satu sama lain.

Dalam pembagian tanah-tanah tersebut, suku Weula tetap menjadi pemilik tanah yang paling banyak dan paling luas dibanding suku-suku baru tersebut tadi.

 Saat ini masyarakat suku Weula atau To Weula sebagian besar hidup sebagai petani. Mereka memiliki kebun dan menanam berbagai jenis tanaman, seperti jagung, ubi-ubian, sayur-sayuran dan buah-buahan.

Timampu

Timampu

Danau Towuti adalah danau yang terkenal, dan kaya dengan potensi Ikan dan keindahan alam yang terletak di Luwu Timur (06/12/2019).

Desa Timampu, bukanlah satu-satunya desa yang terletak di tepi Danau Towuti. Namun, keberadaan pelabuhan besar dan permanen di Desa Timampu, dapat menjadi salah satu modal besar untuk mengembangkan pariwisata di sana.

Sebagai langkah awal, Kepala Desa Timampu, Syamsul Rusdang, akan mengkonsolidasikan, perangkat desa dan pemuda, serta masyarakat untuk menguatkan perencanaan, yang akan diwujudkannya pada tahun 2020 mendatang.

Tidak gentar, perencanaan yang dilakukan dengan matang untuk Timampu, dengan pemanfaatan danau.

 

Danau Towuti di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, menyimpan “buku sejarah” iklim terlengkap di Indonesia.

“Buku sejarah” itu berupa lapisan-lapisan sedimen yang berada di dasarnya.

“Buku sejarah iklim di Danau Towuti sejauh ini adalah yang paling tebal di Indonesia dan paling rapi,” kata Satria Bijaksana, pakar geologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB).

Riset mengungkap bahwa sedimen yang ada di dasar salah satu danau tertua itu mencapai ketebalan sampai 300 meter.

Diperkirakan, sedimen tersebut menyimpan sejarah pada 700.000 tahun lalu.

Beberapa waktu lalu, tim geolog dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan Brown University akan mendatangi kembalu Towuti untuk melanjutkan penelitian tentang kandungan sedimen yang ada didasar tersebut.

Pada periode 2007 – 2013, telah melakukan pengeboran. Dimana pengeboran yang dilakukan hingga kedalaman 12 meter, dari hal tersebut ditemukan beberapa fakta menarik

“Yang mengejutkan adalah diperkirakan 16.000 – 33.000 ribu tahun lalu, danau itu ternyata dikelilingi oleh grassland (padang rumput yang luas), namun disekelilingnya area tersebut dipenuhi hujan”

ungkapnya.

Fakta mengejutkan lainnya adalah ditemukannya Abu Vulkanik, yang menadakan bahwa didaerah ini telah terjadi letusan gunung, diperkirakan pada puluhan ribu tahun lalu tersebut.

“Dengan lapisan yang cukup tebal, ada dua kemungkinan, yang terjadi mungkin mega eruption atau gunungnya ada di dekat danau,” tuturnya.

Dengan pengeboran hingga sedimen di kedalaman 12 meter, tim meyakinkan kita semua bahwa telah berhasil mengungkap yang terjadi sepanjang 60.000 tahun lalu tersebut.

“Semakin kita meneliti kedalam maka akan banyak yang akan kita ungkap” ucap Satria.

Pengeboran berikutnya, Selain mengungkap iklim, target lainnya adalah mengungkap berapa tahun umur danau.

Sebab Danau Towuti diduga berusia jauh lebih tua dari Toba di Sumatera.

Penelitian dengan pengeboran sedimen sedalam 12 meter tersebut, akanmengungkap kejadian dimasa lalu yang berumur puluhan ribu tahun tersebut.

Riset ini direspon baik dan diberikan bantuan dana oleh sejumlah lembaga seperti National Science Foundation. Perusahaan tambang nikel PT Vale mendukung logistik riset, untuk para peneliti dalam mengungkap data-data yang ada.

Sejarah Danau Towuti Bersumber dari Kompas.com dengan judul “Danau Towuti di Sulawesi Simpan “Buku Sejarah” Iklim Terlengkap di Nusantara”

Rahampu

Rahampu

Sejarah kerajaan Matano

Pada abad ke-14 desa ini dikenal sebagai Rahampu’u –tanah untuk orang pertama yang mendiami negeri. Tanahnya merah dengan gunung dan bukit mengelilinginya –tanah merah secara geologi mengandung besi. Desa ini pula yang diperkirakan menjadi cikal-bakal kerajaan Luwu, yang dulu dikenal sebagai penghasil besi terbaik di Nusantara.

Pada masa awal, Matano diperintah oleh seseorang yang bergelar Mokole. Mokole Matano memerintah beberapa anak suku dan mendirikan kerajaan kecil. Tapi ketika kerajaan Luwu berkembang pesat pada abad ke-14, Matano menjadi bagian dari federasi. Kerajaan-kerajaan yang masuk dalam wilayah Luwu dinamakan palili –tugasnya membantu, menaati, dan mendukung penuh aturan dan keputusan-keputusan Luwu.

Lokasi Matano

Pada tahun 1898 Makole Matano melakukan pemberontakan terhadap Kerajaan Luwu dengan melakukan penyerangan ke Wotu. Walaupun sebenarnya terdapat sebuah indikasi bahwa penyerangan Makole Matano ke Wotu disarankan secara diam diam oleh kerajaan Luwu ke Makole Matano untuk menghukum Wotu yang tidak membantu Kerajaan Luwu dalam peperangan kecil yang dilakukan oleh Luwu.

Strategi diam diam Kerajaan Luwu ini menjadi boomerang bagi kerajaan Luwu, karena Makole Matano menjalin aliandi dengan kerajaan Mori. Perlawanan Makole Matano kemudian meningkatkan konflik antara kerajaan Luwu dengan kerajaan Mori secara radikal dan merubah pola alaisni di dataran tinggi.

Cerekang

Cerekang

Tidak dipungkiri Sulawesi-Selatan memiliki sistem kepercayaan, animisme, mitos, pamali dan tahayyul dimana khususnya Kabupaten Luwu Timur Kec.Malili Desa Cerekang tidak terlepas dari sistem kepercayaan yang disebutkan diatas, karena daerah tempat penelitian saya khususnya masyarakatnya Kabupaten Luwu Timur Kec.Malili Desa Cerekang (Desa To Manurung) masih banyak hidup dalam ruang lingkup pengetahuan Tradisonal.

Pada dasarnya masyarakat cerekang berasal dari kata cere yang berarti dituangkan, Legenda orang Cerekang dan Ussu selalu bermula dari Tomanurung dan Sawerigading, sebagai cikal bakal manusia di dunia sekarang. Berkembang sebuah pemahaman di cerekang, bahwa semua umat manusia dari berbagai ras dipercaya berasal dari sawerigading. Mereka yang hidup sekarang adalah anak-cucu Sawerigading yang berkewajiban menjaga kelestariannya, baik dalam siklus hidup maupun tempat-tempat yang diyakini asal mula sumber pangan dan kebutuhan masyarakat seperti (padi, air, alat dan sarana transportasi).[1] Dalam kaitanya dengan To Manurung dan Sawerigading, beberapa toponim[2] telah terekam dalam akal pikiran penduduk sekarang sebagai tempat keramat yang dapat diterjemahkan sebagai “tanah larangan”, di mana David Bulbeck dan Ian Caldwell cenderung menamakannya sebagai pusat tersembunyi, sebuah istilah yang dikonfrontasi dengan pusat nyata, yakni kontsentarasi pemukiman “anak cucu” Sawerigading di mana orang boleh  bermukim dan mengolah tanah ditempat itu. Tempat-tempat keramat yang berkaitan denga tokoh yang legendaries terus hidup dan mengikuti kuat kehidupan masyarakat setempat dan juga dikenal dalam tradisi masyarakat Bugis lain di daerah Luwu hingga memasuki fase kontemporer.

 [1] Ria Aci. http://www.riaaci.mengenalbudayasukucerekang yang mensakralkanhutandansungainya di kabupatenluwutimurDi aksestanggal 21 mei 2017 pukul 10.10 Wita

[2]Toponim adalah bahasa ilmiah tentang nama tempat, asal-usul, arti, penggunaan, dan tipologinya.

Dikabupaten Luwu Timur masih banyak ditemukan yang sangat kuat memegang, mempertahankan dan mengamalkan nilai-nilai leluhur budayanya. Salah satunya Desa di wilayah Kecematan Malili, hanya cerekang yang penduduknya  masih sangat kuat memegang tardisi lisan[1] yang bersumber pada I Lagaligo. Ketaatan pada tradisi tersebut tampak dari beberapa berupa bukti dan hutan yang masih dianggap “keramat” dan buah yang dianggap tidak dapat dikomsumsi oleh keturunanya sendiri. Akan tetapi system kepercayaan masyarakat adat cerekang pada dasarnya merupakan tardisi-tradisi yang masih dilakukan oleh masyarakat. Berdasarkan tradisi-tradisi tersebut ditemukan berbagai perpaduan dengan ajaran Islam. Boleh  jadi ini merupakan sinkritisme[1] antara ajaran Islam dengan kepercayaan masyarakat setempat.[2]

 

[1] Sinkritisme adalah suatu proses perpaduan dari beberapa paham-paham atau aliran-aliran agama atau kepercayaan

[2] ANRIANI. 2016. Skripsi (Komunitas Adat Cerekang DiKecamatan Malili Kabupaten Luwu Timur). Fakultas Ilmu sosial Universitas Negeri Makassar. Hlm. 1-3

 [1] Tradisi Lisan adalah salah satu jenis warisan kebudayaan masyarakat setempat yang berproses pewarisannya dilakukan secara lisan.Menurut  Jan Van pengertian tradisi lisan adalah kesaksian  yang diwariskan secara lisan dari generasi kegenerasi

Dalam berbagi sumber yang telah dijelaskan sebelumnya terutama dalam Kitab I Lagaligo, kampong Cerekang yang diyakini sebagai tanah pertama yang disentuh manusia pertama yang diturunkan dari langit (Boting langi’) yaitu Batara Guru sebagi putra  Mahadewa, Batara Guru mengawali sejarah panjang manusia Bugis dengan mengelola alam dan mengatur Negara pertama. Cerekang menjadi simbol ke pertamaan Bugis. Batara Guru menjadi pemimpin yang menjamin keseimbangan duniawi dan pengabdian kepada alam dan Sang penguasa Alam. Batara guru membolehkan bercocok tanam tanpa merusak alam, membolehkan makan daging binatang dan ikan tanpa membuat hewan binasa dan tanpa membuat air sungai keruh. Kedamaian manusia terlindungi dari kekacauan dan saling melecehan sehingga melahirkan generasi andalan yang bias menjadi panutan bagi manusia berikutnya.

Suku Padoe

Suku Padoe

Suku Padoe (To Padoe), adalah salah satu suku bangsa berdiam di wilayah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara. Khusus di wilayah Sulawesi Selatan, suku Padoe tersebar di Kecamatan WasupondaMaliliNuhaTowutiAngkona dan Mangkutana di Kabupaten Luwu Timur.[1] Hingga saat ini, populasi suku Padoe diperkirakan sekitar 22.000 orang.

Asal-muasal

Suku Padoe secara bahasa berhubungan dengan rumpun bahasa Bungku-Tolaki. Suku Padoe mendiami daerah ini diperkirakan sejak peradaban awal di area Malili-Nuha. Sebagian rumpun keluarga kemudian bermigrasi ke Sulawesi Tengah, di daerah Kanta, Kayaka. Rumpun ini juga setelah sekian abad, berimigrasi kembali ke area Malili-Nuha pada sekitar abad ke-XIV-XV. Sementara rumpun-rumpun yang tetap tinggal ada di area Angkona dan sebagian Malili.

Dalam bahasa setempat istilah “Padoe” berarti “orang jauh” karena itu dikenal pula sebagai “To BelaE”. Di Tana Luwu mereka menjadi salah satu bagian dari 12 anak suku di bawah pemerintahan Kedatuan Luwu (Kerajaan Luwu). Suku To Padoe sekarang banyak yang bertempat tinggal di daerah Pakatan di Kecamatan Mangkutana; Angkona dan Lakawali di Kecamatan Angkona; Pabeta, Kore-korea (Tulantula) dan Malili di Kecamatan Malili; Laroeha, Kawata, Lasulawai, Amasi, Tawaki, Ledu-Ledu, Wasuponda dan Tabarano di Kecamatan Wasuponda; Wawondula, Lioka, Matompi di Kecamatan Towuti; Taliwan di Kecamatan Mori Utara, Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi tengah; Mayakeli di kecamatan Pamona Puselemba, Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah.

Kepercayaan

Kepercayaan asli orang Padoe adalah agama Lahomua. Agama Lahumoa berpusat kepada penyembahan terhadap Ue Lahumoa. Ue (Mpue, Pue) berarti Tuhan dan Lahumoa adalah gelaran kepada Yang Maha Kuasa. Lahumoa berasal dari dua suku kata, yaitu Lahu dan Moa. Lahu berarti wujud/ kodrat maskulin dan Moa berarti Besar dan Esa. Ue Lahumoa berarti Tuhan yang berwujud maskulin yang besar dan esa. Ue Lahumoa adalah sumber segala berkat dan kebaikan karena itu sembahan diberikan berkala pada sebuah bagian atap rumah yang dapat dibuka yang disebut “tinungga.” Selain Ue Lahumoa terdapat juga tuhan-tuhan (Ue-Ue) yang membawa bencana dan malapetaka. Ue-Ue inilah yang diberikan sesembahan agar tidak mengganggu kehidupan manusia. Tempat-tempat yang dianggap keramat dianggap sebagai tempat bersemayamnya Ue-Ue ini. Kegiatan memberikan sesembahan ini disebut “montuila.”

Pada tahun 1920-an para misionaris Kristen dari Belanda mulai memasuki wilayah suku Padoe dan memperkenalkan agama Kristen kepada masyarakat suku Padoe. Tahun 1965 banyak orang Padoe yang mengungsi ke wilayah Sulawesi Tengah, akibat adanya pergerakan Darul Islam Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang dipimpin Kahar Muzakkar. Hal ini menyebabkan suku Padoe juga banyak tersebar dan berdiam di wilayah Sulawesi Tengah hingga kini.