Suku Tambe’e

Suku Tambe’e

Sejarah Suku Tambe’e

Latar Belakang Ethnis

Secara sosio-Antropologis, komunitas suku Tambee dapat digolongkan sebagai masyarakat Semi-Nomaden. 1 Semula Komunitas suku Tambee tinggal di Ulu Uwoi, yang dahulunya adalah wilayah kerajaan Mori.

Penyebutan istilah Kerajaan Mori dalam buku ini hanya untuk menggambarkan tentang karakteristik wilayah secara umum yang meskipun bahwa pada kenyataannya Kerajaan Mori kemudian baru terbentuk diperkirakan sekitar tahun 1580 dengan raja pertama Marunduh (1580- 1620).2

Disamping hidup sebagai masyarakat Agraris, binatang ternak seperti kerbau dan binatang lain yang berhubungan dengan kehidupan Pertanian juga dipelihara oleh komunitas suku Ulu Uwoi.

Suatu ketika seekor Kerbau milik sekelompok masyarakat suku Ulu Uwoi lepas dari kandang dan mengembara sampai ke wilayah Timur-Tenggara yaitu wilayah kekuasaan Tadulako Matano yang cukup masyhur pada waktu itu. Selanjutnya sekelompok masyarakat ini segera berupaya untuk mencari dan menemukan kerbau lepas tersebut. Sementara itu di wilayah kekuasaan adat Tadulako Matano terdengar kabar bahwa seekor kerbau telah merusak tanaman dan mengganggu kerbau-kerbau peliharaan orang-orang Matano.

Suku Matano yang juga dikenal sebagai suku Raha Mpu’u adalah komunitassuku yang bermukim di wilayah Tana Nuha, Matano yaitu sepanjang pesisir danau Matano dan sekitarnya. Saat itu secara adat, suku Matano atau suku Raha Mpu’u telah menguasai sebagian besar wilayah pesisir Danau Matano.

Tetapi kemudian Diketahuilah bahwa kerbau lepas dan mengembara yang mengakibatkan banyak kerusakan serta kerugian tersebut adalah milik orang-orang dari suku Ulu Uwoi yang dalam perjalanan sejarah kemudian 1 Kumpulan Masyarakat yang hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup pada bidang Ekonomi. Perpindahan ini baik karena Usaha pertanian dengan merambah hutan, berburu maupun karena hidup menggembala ternak.

disebut sebagai suku Tambee. Sebagai pemilik kerbau, maka selanjutnya secara adat, sekelompok orang-orang dari suku Ulu Uwoi tersebut menghadap kepada Tadulako suku Matano atau suku Raha Mpu’u untuk mempertanggungjawabkan semua kerusakan yang disebabkan oleh kerbau mereka di wilayah adat Tadulako Matano. Pada zaman dahulu, hukum adat tentang kerusakan yang diakibatkan oleh binatang peliharaan yang lepas sangat keras. Peristiwa tersebut akan berujung pada pemberian sanksi adat kepada pemiliknya.

Untuk membicarakan perkara tersebut, diadakanlah musyawarah secara adat antara orang-orang dari suku Ulu Uwoi pemilik kerbau dengan Tadulako suku Matano. Melalui Musyawarah secara adat itu, akhirnya Tadulako Matano menjatuhkan sanksi kepada kelompok orang-orang Ulu Uwoi pemilik kerbau tersebut. Dalam proses menjatuhkan sanksi secara adat terhadap orang-orang Ulu Uwoi oleh Tadulako Matano, semuanya diawali dengan tawar-menawar diantara kedua belah pihak. Orang-orang dari suku Ulu Uwoi bersedia menerima sanksi secara adat yang diberikan oleh Tadulako Matano menurut ketentuan adat orang-orang Matano atau RahaMpu’u dengan suatu syarat bahwa semua tempat di mana kerbau tersebut sempat berpijak di wilayah adat Tadulako Matano, maka semua wilayah tersebut harus juga diserahkan menjadi milik adat orang-orang Ulu Uwoi.

Sejauh kaki kerbau melangkah, maka sejauh dan seluas itu pula tanah atau wilayah adat Tadulako Matano harus menjadi milik orang-orang Ulu Uwoi. Dalam bahasa Tambee sejauh bekas tapak kaki kerbau melangkah disebut Landaki atau yang selanjutnya di sebut Landangi. Peristiwa ini kemudian menjadi latarbelakang penting sehingga wilayah adat suku Ulu Uwoi atau suku Tambee sampai saat ini disebut Landangi. Secara hurufiah Landangi berarti sejauh tapak kaki kerbau menginjak atau berpijak. Sejauh dan seluas tapak kaki kerbau tersebut pernah berpijak dan melangkah kemudian disepakati menjadi wilayah adat suku Ulu Uwoi atau suku Tambee.

Secara Georgafis wilayah-wilayah pesisir Danau Matano yang secara kuat telah dikuasai oleh suku Matano tidak termasuk ke dalam wilayah adat suku Tambee. Perjanjian kepemilikan tanah secara adat yang diberikan kepada suku Ulu Uwoi hanya berlaku pada wilayah-wilayah yang secara adat belum dikuasai sepenuhnya oleh orang Matano, tetapi masih merupakan kawasan yang termasuk klaim wilayah adat suku Matano. Tanah-tanah tersebut masih kosong. Pada saat dilakukan Perjanjian dan kesepakatan bersama ini, selanjutnya secara adat pula, Tadulako Matano telah menetapkan batas- batas wilayah adat yang kemudian dapat dimiliki dan dikuasai oleh suku Ulu Uwoi sebagai milik adat mereka secara turun-temurun. Batas-batas wilayah adat antara suku Matano atau RahaMpu’u dengan suku Ulu Uwoi atau suku Tambee masih berlaku sampai saat ini yaitu di sebelah Timur berbatasan dengan wilayah adat suku Matano atau Rahampu’u, di sebelah Barat berbatasan dengan wilayah yang kemudian menjadi permukiman suku To Kinadu, di sebelah Utara berbatasan dengan wilayah adat kerajaan Mori sedangkan pada bagian Selatan berbatasan dengan wilayah adat yang kemudian menjadi permukiman suku To Konde.3

Secara Geografis dalam konteks kontemporer wilayah adat suku  Tambee,Landangi berada di wilayah Provinsi Sulawesi Selatan, Kabupaten Luwu Timur, Desa Matano, Kecamatan Nuha. Selanjutnya sanksi adat atas kerusakan sebagai akibat lepasnya kerbau orang-orang Ulu Uwoi atau suku Tambee yang harus dibayarkan kepada Tadulako Matano adalah berupa benda pusaka yang disebut BanaMpulawa dan EnoNsolou. Kedua benda pusaka ini hanya dimiliki oleh orang-orang dari kalangan suku Ulu Uwoi atau suku Tambee. BanaMpulawa adalah sejenis kain pakaian, kemungkinan juga bahan pakaian perang. Kain baju perang ini memiliki kekuatan magis, memiliki kesaktian yang sering dikenakan ketika berperang. Apabila seseorang mengenakan benda pusaka ini, maka ia tidak akan terlihat oleh musuh. Secara leluasa ia dapat membunuh musuh-musuh di medan perang, sementara ia sendiri tidak dapat terlihat secara kasat mata oleh musuh-musuhnya. Sedangkan EnoNsolou adalah sejenis gelang yang memiliki kekuatan magis. Gelang jenis ini juga selalu digunakan pada saat berperang, 3 Batas-batas yang telah ditetapkan sejak zaman purbakala ini telah ditetapkan kembali pada saat dilakukan pemetaan wilayah adat suku Tambee pada Tahun 2016 dalam kerja sama Lembaga adat suku Tambee dengan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). khususnya pada saat perang-perang suku antara suku Ulu Uwoi atau suku Tambee melawan suku-suku lain pada zaman dahulu.

Suku Karunsi’e

Suku Karunsi’e

Menurut Holni Amelia Metaso, mahasiswa Ilmu Sejarah Unhas yang melakukan riset ini mengatakan, riset ini bagian programnya dalam KKN Unhas di Desa Ledu-Ledu.

Ia menyebutkan, Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak suku dan budaya, tercatat ada 1.340 suku yang tersebar di seluruh Indonesia. Suku To Karunsi’e sendiri termasuk suku yang telah mendiami timur Indonesia selama beribu tahun yang lalu, tepatnya berada di daerah Luwu Timur, Sulawesi Selatan.

“To Karunsi’e percaya bahwa nenek moyang mereka berasal dari Witamorini (sebelah utara Matano). Nenek moyang To Karunsi’e bernama Wesarinda yang bertemu dengan seorang Pangeran, lalu membuat rumahnya dari 7 batang jagung, 7 batang padi dan 7 batang gandum,” ujarnya dalam rilis.

Kata dia, menurut Martinus Tomana (69 tahun) selaku Ketua Adat suku Karunsi’e, to Karunsi’e sendiri berasal dari kata To yang artinya merujuk ke suatu kelompok masyarakat, sedangkan Karun (Tiang) dan Si’e(Lumbung), jadi Karunsi’e berarti tempat penyimpanan makanan.

Hingga saat ini, To Karunsie telah tersebar di berbagai daerah, seperti Luwu Timur, sebagian wilayah di Sulawesi Tengah dan juga di berbagai wilayah lainnya.

Ia menambahkan, dalam arsip “Profil Masyarakat Adat To Karunsi’e” dijelaskan bahwa To Karunsi’e dipercaya telah menempati wilayah Luwu bagian Timur sekitar abad ke 11 tepatnya di pegunungan sekitar danau Matano. Pada abad ke-19, Wasuponda yang dahulunya merupakan Danau, akhirnya mengering lalu di tempati oleh orang-orang Weula. Kemudian terjadilah perang antara To Karunsi’e dan Weula dalam memperebutkan wilayah kekuasaan. Peperangan tersebut dimenangkan oleh To Karunsi’e yang membuat mereka berhak menguasai wilayah kekuasaan dari orang-orang Weula.

Ia juga membeberkan hasil wawancara bersama Martinus Tomana, tokoh penting yang memperjuangkan suku Karunsi’e dengan membentuk Organisasi Krapaskad (Kerukunan Pejewawu Asli Karunsi’e Dongi) pada tahun 1999. Tokoh tersebut antara lain ia sendiri bersama dengan Alm. Naomi Mamanita dan Ramli La Duri didampingi oleh AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara).

Lanjut dia, perpindahan warga Dongi Lama (lebih dahulu berada di Sorowako dekat lapangan golf milik PT. Vale) ke Dongi Baru (sekarang berada di Desa Ledu-Ledu), hal itu disebabkan oleh pemberontakan DI/TII yang membuat To Karunsi’e harus berpindah-pindah tempat.

Hingga pada akhirnya sekitar tahun 1960 an, To Karunsi’e menetap di Wasuponda, tepatnya di perumahan Dongi hingga saat ini. Masyarakat di Dongi mendapatkan fasilitas dari PT. Vale seperti pembangunan rumah, air bersih, listrik dan lampu jalan, dan jalan raya.
Hal itu dikatakan karena To Karunsi’e mengklaim bahwa wilayah PT. Vale yang ada di Soroako merupakan warisan nenek moyang mereka. Selain itu, sebagian penghasilan masyarakatnya 75% berada di bidang pertanian, sisanya bekerja sebagai buruh.

Adapun peninggalan budaya dari nenek moyang To Karunsi’e, ia beberkan yaitu, Tasima Pongkiari Manggede, Tasima Waru, Tasima Tabiri, Tasima Torouta, Tasima Balo-balo (tempat penyimpanan mayat), Kuburan Tua Pontada, Kuburan Pongkiari Bangke, Kuburan Tua Benteloba Watu Mokara dan Watu Mohali
Molaemba (tarian berpegangan tangan membentuk lingkaran). Kemudian, Tarian Me’uma (tarian adat), Lambugau (baju adat To Karunsi’e, berwarna kuning dan hitam), dan Pulau Meko/Benteng Pertahanan, serta Air Terjun Meruruno. (*/)

Suku Pamona

Suku Pamona

Kaili-Pamona (sering kali disebut sebagai suku Kaili Bare’e atau orang Poso), arti dari Kaili-Pamona yaitu “ka (keras), ili (mengalir), pa ( pakaroso), ma (masintuvu), na (nakalonto molanto). Suku Kaili-Pamona mendiami hampir seluruh wilayah Kabupaten PosoKota Palu sebagian Kabupaten Tojo Una-Una, dan sebagian Kabupaten Morowali UtaraSulawesi Tengah; bahkan ada juga beberapa yang tinggal di Kabupaten Luwu Timur di Sulawesi Selatan, dan sebagian kecil yang tersisa hidup di bagian lain di Indonesia.

Pendahulu suku Pamona berasal dari campuran baik dari lembah bada maupun berasal dari Rampi(lembah badaKabupaten Luwu Timur, ) Jika terdapat suku Pamona di wilayah tertentu, maka merupakan hal yang umum jika Rukun Poso (asosiasi komunitas orang Poso) dibentuk disana, yang berfungsi sebagai sarana sekelompok orang dari latar belakang etnis yang umum untuk terlibat dalam berbagai kegiatan di kawasan ini.

Hampir seluruh orang Kaili-Pamona memeluk agama Kristen. Kristen masuk ke wilayah Poso tahun 1892 (2025 adalah tahun ke-133) dan hingga saat ini diterima secara umum sebagai agama rakyat. Hingga hari ini, semua gereja dengan denominasi yang umum dikelompokkan ke dalam Gereja Kristen Sulawesi Tengah yang bermarkas di kota Tentena, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah.[2] Hampir semua orang menggunakan bahasa Pamona dan bahasa Indonesia yang dicampurkan dengan kalimat slang lokal. Pekerjaan orang suku Kaili-Pamona biasanya sebagai petanipendetapastorwirausahawanpejabat pemerintahan, dan sebagainya.

Pakaian Adat Suku Pamona

Sejarah

Wilayah dataran tinggi di sekeliling Danau Poso merupakan rumah bagi tujuh subsuku dengan hubungan kekerabatan dekat, yang menurut legenda adalah keturunan dari enam saudara laki-laki dan satu saudara perempuan. Legenda tersebut menjelaskan bahwa setelah mereka menggulingkan penindas mereka, ketujuh saudara tersebut memutuskan untuk berpisah dan membentuk komunitasnya sendiri. Untuk mengenang kejadian ini, mereka membuat tujuh “batu pemisahan” (bahasa PamonaWatu Mpoga’a) yang masih dapat ditemukan saat ini di Tentena.[3]

Lembaga adat Pamona

Nama Kaili-Pamona juga merujuk kepada persatuan dari beberapa etnis, yang merupakan singkatan dari Pakaroso Mosintuwu Naka Molanto (Pamona).[4] Kemudian, Pamona menjadi sebuah suku bangsa baru yang disatukan di bawah pemerintahan kolonial Belanda. Nama Pamona dideklarasikan di Tentena, dan bahkan sebuah peringatan untuk deklarasi tersebut diabadikan menjadi sebuah monumen dengan nama Watu Mpoga’a sebagai pengingat asal-usul[2] dan juga menamakan sebuah jalan dengan nama Pamona. Secara historis, adat Pamona yang dilembagakan sebelumnya dibagi dengan beberapa otoritas. Untuk Poso, dipimpin oleh Datu Poso dan beberapa kabosenya (tetua) yang merepresentasikan kelompok suku mereka masing-masing.[5] Di Luwu, dipimpin oleh Makole Tawi dan keberadaan institusi adat Pamona saat ini terbagi menjadi dua lembaga. Di Poso, dinamakan Majelis Adat Lemba Kaili-Pamona Poso, sedangkan di Tanah Luwu (Kabupaten Luwu Timur dan Kabupaten Luwu Utara) disebut Lembaga Adat Lemba Pamona Luwu. Saat ini, keberadaan dari beberapa lembaga ini masih dijaga oleh komunitas Pamona yang berada di Mangkutana (Luwu Timur) dan Masamba (Luwu Utara), maupun orang-orang yang berada di Poso.

Tarian

Tarian Dero, atau madero merupakan tarian populer di kalangan Suku Pamona. Tarian ini diadakan pada pesta-pesta rakyat. Biasanya dilakukan oleh orang-orang muda. Tarian melingkar dilakukan dengan saling bergandengan tangan, sambil berbalas pantun diringi musik ceria. Beberapa daerah di Palu melarang kegiatan Tarian Dero atau madero karena sering menjadi pemicu perkelahian antar pemuda yang saling berebut perhatian gadis-gadis.

Tarian Dero juga berfungsi sebagai sarana hubungan sepasang kekasih di depan umum, kecuali untuk tari Raego yang agak kental dengan budaya dan tidak terkait dengan hubungan sepasang kekasih.

Suku Wotu

Suku Wotu

Tentang Suku Wotu

Suku Wotu berbeda dengan orang Bugis, mereka berdiri sendiri sebagai etnis atau suku yang telah hadir di wilayah ini sejak lama. Suku Wotu, adalah suku tertua yang ada di Tanah Luwu. Keberadaan suku Wotu ini memiliki sejarah panjang, bahkan mereka pernah memiliki kerajaan yang lebih tua dari Kerajaan Luwu.

Masyarakat adat suku Wotu, memiliki struktur pemerintahan sendiri yang pembagian tugasnya telah diatur dengan sedemikian maju. Dalam menjalankan pemerintahan adat, masyarakat adat suku Wotu dipimpin oleh seorang Pemangku Adat yang bergelar Macoa Bawalipu.

Macoa Bawalipu

Macoa Bawalipu (bahasa Indonesia: Kausaprima Bumi) atau sering ditulis menjadi Macoa Bawa Lipu, adalah sebuah gelar yang diberikan kepada pimpinan pemangku adat di Wotu. Macoa sendiri bermakna pemimpin. Dalam menjalankan pemerintahan adat, Macoa Bawalipu dibantu oleh dua orang Paramata, yakni Paramata Laiwonu dan Paramata Rompo.

Bau Muh Aras Abdi To Baji Pua Sinri

Macoa Bawalipu dari kerajaan Wotu ke-61

Dalam sejarah, suku Pamona yang tinggal di gunung yang jauh dari pusat pemerintahan, dari dataran Salu Moge turun mendekati pusat pemerintahan di sekitar Mangkutana, yang menjadi pusat pemerintahan adat setelah ditaklukkan oleh Macoa Bawalipu pada saat itu. Kerajaan Luwu apabila memiliki keperluan di Pamona akan mengurusnya melalui Wotu, dan sebaliknya jika Pamona memiliki keperluan akan mengurusnya melalui Wotu. Dalam hal ini, semuanya sederajat dan saling menyokong.

Prosesi adat di Luwu tidak dapat dinyatakan sah jika tidak “pamit” (meminta izin) kepada Macoa Bawalipu sebagai pemimpin adat tertinggi di Wotu untuk pengambilan air dan pembangunan istana, serta harus meminta izin jika ingin duduk sejajar dengan Datu.